Pura-Pura Mengemis Demi Ilmu

1113
0
BERBAGI

 

Dikisahkan perjalanan Imam Baqi bin Makhlad al-Andalusi dalam menuntut ilmu, ia rela menyamar menjadi pengemis demi memperoleh hadits dari Imam Ahmad bin Hanbal.

Ia menuturkan, “Aku keluar mencari tahu rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian, ada orang yang menunjukkan diriku. Aku mengetuk pintu rumahnya, dia pun keluar dan membuka pintu. Dia melihat seorang laki-laki yang belum dikenalnya.

Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, inilah seorang laki-laki perantau yang negerinya jauh. Ini adalah kedatanganku pertama kali di negeri ini. Aku pencari hadits dan penghimpun sunnah. Aku tidak melakukan perjalanan melainkan bertujuan untuk menemuimu.’

Dia berkata kepadaku, ‘Masuklah lorong itu, dan jangan sampai terlihat oleh seorangpun.’

Dia bertanya kepadaku, ‘Di mana negerimu?’ Aku menjawab, ‘Daerah Maghrib yang jauh.’ Dia bertanya kembali, ‘Afrika?’ Aku menjawab, ‘Lebih jauh lagi, Aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika, negeriku Andalus.’ Dia berkata, ‘Negerimu benar-benar jauh. Tidak ada sesuatu yang lebih aku sukai daripada membantu orang sepertimu dengan baik, untuk mewujudkan keinginannya. Hanya saja, saat ini aku sedang menghadapi ujian dengan sesuatu yang mungkin kamu telah mendengarnya.’ Aku berkata, ‘Benar, aku telah mendengarnya saat aku berjalan ingin menemuimu dan hampir tiba di sini.’

Aku berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, ini adalah kedatanganku yang pertama kali. Aku orang yang tidak dikenal di kalangan kalian. Jika anda berkenan, aku akan datang setiap hari dengan menyamar sebagai peminta-minta. Di depan pintu, aku akan mengucapkan apa yang sering diucapkan para pengemis. Lalu, anda keluar ke tempat ini. Seandainya anda tidak menyampaikan setiap hari kecuali hanya satu hadits saja, maka hal itu sudah cukup bagiku.’ Dia menjawab, ‘Ya, dengan syarat kamu jangan muncul di halaqah-halaqah, dan tidak pula kepada para ahli hadits.’ Aku menjawab, ‘Aku berjanji.’

Pada hari berikutnya aku mengambil ranting pohon dengan tanganku, kemudian membebat kepalaku dengan kain. Kertas dan tinta aku sembunyikan di balik lengan bajuku. Lalu aku mendatanginya sambil berteriak, ‘Pahala, semoga Allah merahmati kalian!’ Begitulah yang diteriakkan oleh para peminta-minta di sana. Maka, dia keluar dan menutup pintu. Dia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih kepadaku.

Aku terus melakukan hal itu sampai orang yang menimpakan ujian kepadanya telah mati. Setelah itu, kepemimpinan diambil alih oleh orang yang berpegang kepada madzhab Ahlus Sunnah. Maka, Ahmad bin Hanbal kembali muncul, dan namanya naik daun. Dia dihormati di mata manusia, ketokohannya terkenal, orang-orang berduyun-duyun mendatanginya. Dan, dia semakin tahu kesabaranku yang sebenarnya. Jika aku mendatangi halaqahnya, dia melapangkannya untukku dan mendekatkanku kepada dirinya. Dia berkata kepada para ahli hadits, ‘Orang ini berhak menyandang predikat sebagai penuntut ilmu.’ Kemudian ia menceritakan kisahku bersamanya. Dia menyodorkan hadits kepadaku, membacakannya untukku, dan aku membacakannya untuknya.” (Al-Manhaj al-Ahmad fi Tarajim ashhabi al-Imam Ahmad, al-Ulaimi, I/177)

 

 

TIDAK ADA KOMENTAR

LEAVE A REPLY