Oleh : M. Rayhan
( Kader Sahabat Yamima – Mahasiswa Al-Azhar, Kairo )
Nama dan Sejarah Kelahiran Beliau
Beliau adalah Abdurrahman Abu Zaid Waliyuddin Ibnu Khaldun atau lebih dikenal dengan Ibnu Khaldun. Nama Ibnu Khaldun sendiri dinisbatkan pada nama salah seorang kakek buyutnya yaitu Khalid bin ‘Utsman. Nama “Khaldun” kemudian disematkan pada kakek buyutnya Khalid saat beliau pergi ke Andalusia, dan masyarakat Andalusia punya kebiasaan memanggil nama seseorang dengan menambahkan huruf Wau dan Nun (dalam bahasa Arab) untuk menunjukkan penghormatan pada sahabatnya, atas dasar inilah kakek buyut Ibnu Khaldun kemudian dikenal sebagai “Khaldun”. Sementara nama “Abu Zaid” disematkan pada Ibnu Khaldun berdasarkan nama anak lelakinya yang pertama yang bernama Zaid dan Waliyuddin menjadi gelar Ibnu Khaldun saat menjabat sebagai Qadhi di Mesir. Sejak kedatangannya ke Andalusia, Khaldun dan keturunannya kerap memiliki jabatan yang terhormat di kalangan masyarakat. Hal ini kemudian berlanjut setekah keluarga mereka hijrah ke Tunisia setelah terjadi kekacauan politik yang terjadi di Andalusia di masa itu. Keluarga Khaldun kerap diberikan kepercayaan untuk menjadi salah satu pejabat pemerintahan, tidak terkecuali ayah ibnu Khaldun yang bernama Abu Abdullah Muhammad yang juga sempat berkecimpung di dunia politik sebelum akhirnya memutuskan untuk terjun ke dunia ilmu pengetahuan dan kesufian. Di tengah keluarga yang kental dengan suasana politik dan Ilmu Pengetahuan inilah kemudian Ibnu Khaldun dilahirkan pada Ramadan tahun 732 H atau pada tahun 1332 M di Tunisia.
Masa Kecil Ibnu Khaldun dan Perkembangannya
Sejak kecil, Ibnu Khaldun tumbuh dalam lingkungan belajar yang baik dan sudah mulai menghafal AlQur’an sejak usia dini. Di lingkungan ini, Ibnu Khaldun kecil pun tumbuh dengan kecintaan pada ilmu. Ulama yang kelak namanya mendunia ini pun memulai pengembaraan keilmuannya dengan berguru pada ayahnya yang juga seorang ulama dan juga para ulama lain yang saat itu tersebar di Tunisia. Di masa-masa inilah Ibnu Khaldun memelajari ilmu-ilmu Syar’i, bahasa Arab, Ilmu Pengetahuan Alam, Matematika, Ilmu Mantiq (Logika), dan Filsafat. Akan tetapi, pengembaraan keilmuan Ibnu Khaldun harus terhenti setelah munculnya wabah Pes yang mematikan di Tunisia. Ayah Ibnu Khaldun dan beberapa ulama terkemuka di Tunisia termasuk orangorang yang terjangkit wabah ini dan kemudian wafat tak lama setelahnya. Karena wabah ini, masyarakat yang berada di Tunisia, termasuk guru-guru Ibnu Khaldun yang masih hidup berhijrah ke Maroko. Ibnu Khaldun kemudian menganggap peristiwa wabah ini sebagai sebuah “Bencana Besar” dalam kehidupannya, karena wabah inilah yang telah memisahkannya dengan orangtua dan juga guru-gurunya. Selain memengaruhi kehidupan keluarganya, wabah ini juga berperan penting dalam perubahan fase belajar Ibnu Khaldun menuju fase perpolitikan dalam kehidupannya. Menurut Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, seorang pakar Ibnu Khaldun, hal yang menyebabkan berhentinya fase belajar Ibnu Khaldun ada dua, yaitu: pertama, wabah pes yang saat itu menjangkiti sebagian besar wilayah kaum muslimin dari Samarkand hingga Maghrib. Kedua, hijrahnya sebagian besar ulama yang selamat dari wabah Pes dari Tunisia pada tahun 750 H/ 1349 M.
.
Ibnu Khaldun dan Dunia PolitikSetelah wabah Pes yang melanda Tunisia pada tahun 750 H/1349 M, Ibnu Khaldun kehilangan banyak gurunya. Setahun kemudian, saat usia Ibnu Khaldun menginjak usia 20 tahun, Abu Muhammad ibnu Tarafkin, penguasa Tunisia saat itu, memanggil Ibnu Khaldun untuk mengisi jabatan sekretaris Sultan Abu Ishaq Ibnu Abu Yahya al-Hafsi. Tawaran itu kemudian diterima oleh Ibnu Khaldun karena sudah sangat sedikitnya ulama yang masih tersisa di Tunisia dan juga hijrahnya salah satu guru terdekatnya yaitu Muhammad Ibrahim al-Abili ke Fez. Jabatan ini terus dijalankan oleh Ibnu Khaldun hingga ia hijrah ke Fez pada tahun 755 H/1354 M. Dengan masuknya Ibnu Khaldun ke dunia politik, beliau telah melanjutkan tradisi keluarga Khaldun yang memang selalu identik dengan jabatan politik. Hijrahnya Ibnu Khaldun ke Fez pada tahun 755 H/ 1354 M tidak terlepas dari peran Abu Inan yang memanggil Ibnu Khaldun dari Tunisia dan mengangkatnya sebagai seorang anggota Majlis Ilmu dan kemudian mengangkatnya sebagai salah seorang sekretaris Sultan. DI kota Fez, pemikir yang kemudian dikenal sebagai bapak Sosiologi modern ini melanjutkan kembali pengembaraan ilmiahnya yang sempat terhenti sembari menjalankan fungsinya di pemerintahan. Terlebih, saat itu Fez memiliki salah satu perpustakaan islam yang lengkap, sehingga Ibnu Khaldun dapat memanfaatkan fasilitas itu untuk memperkuat sisi intelektualitasnya. Tiga tahun setelah kepindahannya ke kota Fez atau pada tahun 758 H, Ibnu Khaldun dituduh melakukan sabotase terhadap Sultan. Atas tuduhan ini Ibnu Khaldun sempat merasakan penjara selama dua tahun hingga kemudian dibebaskan dan langsung diangkat menjadi sekretaris pribadi sultan. Setelah itu, selama empat tahun berikutnya, Ibnu Khaldun terus menerus bekerja sebagai pejabat pemerintahan di bawah empat sultan yang berbeda. Setelah sekitar sepuluh tahun ada di kota Fez, Ibnu Khaldun mulai memerhatikan bahwa situasi politik di Afrika Utara sudah mulai tidak kondusif, sehingga beliau kemudian memutuskan untuk berangkat menuju Andalusia dan memilih kota Granada sebagai tempat singgahnya. Pemikir besar ini memilih Granada karena beliau memiliki kedekatan emosional dengan para penguasa di sana. Karena alasan yang sama, Ibnu Khaldun kemudian dipercayai juga untuk mengemban jabatan-jabatan strategis di pemerintahan.
Akan tetapi, kelihaian Ibnu Khaldun dalam menjalankan perannya tidak hanya mengundang kekaguman, tapi juga kebencian musuh-musuh politiknya. Terlebih saat itu, Ibnu khaldun harus banyak berurusan dengan raja-raja di Andalusia yang tentu memiliki banyak kepentingan politik. Dengan banyaknya musuh politik di Andalusia, Ibnu Khaldun pun mulai merasa bahwa situasi politik di Andalusia sudah tidak aman, hal ini kemudian diperparah dengan tuduhan salah seorang pejabat pemerintahan di Granada pada sosoknya. Ibnu Khaldun pun pada akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Andalusia pada tahun 776 H, kali ini beliau memilih Baougie sebagai tujuannya, dan kepindahannya ini juga menandakan akhir dari karir politiknya. Kehidupan Paska Politik dan Wafatnya Ibnu Khaldun Usai meninggalkan Andalusia, Ibnu Khaldun kemudian memilih untuk beruzlah (mengasingkan diri) dan mulai melakukan penelitian dan kegiatan-kegiatan keilmuan lainnya. Fase ini berlangsung selama kurang lebih dua belas tahun dari tahun 776 H hingga 784 H. Di Fase ini juga Ibnu Khaldun mulai menulis bukunya yang fenomenal al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar ‘an ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘asharuhum min Dzawi Sulthan al-Akbar, yang kemudian Muqaddimah (Pembuka) dari kitab ini dianggap sebagai salah satu harta karun intelektual dunia hari ini. Setelah melalui fase ‘Uzlah ini, Ibnu Khaldun kemudian pergi menuju Mesir. Di Mesir, nilai intelektualitas Ibnu Khaldun menemui puncaknya. Beliau berkali-kali menduduki jabatan hakim selama di Mesir. Selain itu, beliau juga menjadi salah satu guru di al-Azhar dan sekolah-sekolah lain diMesir. Fase ini berjalan selama kurang lebih empat belas tahun (784-808 H). Pemikir besar islam yang kelak namanya menyejarah ini kemudian wafat pada 25 Ramadan 808 H atau 19 Maret 1406 M. Dunia kehilangan salah satu pelaku sejarah penting sepanjang keberlangsungan kemanusiaan.
Guru dan Murid Ibnu Khaldun
Sebagai seorang Ulama, tentu Ibnu Khaldun memiliki banyak guru yang membimbing proses belajarnya. Diantara guru-guru yang paling terkenal adalah Syaikh Syamsuddin Abu Abdullah Muhammad al-Wadiyasi, guru beliau di bidang ilmu hadis, bahasa Arab, dan fikih. Selain itu terdapat juga Syaikh Abdullah Muhammad Ibnu Abdussalam yang dengannya Ibnu Khaldun mengkhatamkan kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Sementara guru yang sangat memengaruhi kepribadian beliau dan dianggap sebagai guru yang paling istimewa oleh Ibnu Khaldun adalah Syaikh ‘Abd al-Muhaimin Ibnu al-Hadrami dan Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim al-Abili. Selain itu, masih terdapat banyak sekali guruguru Ibnu Khaldun yang beliau datangi selama hidupnya. Sedangkan murid-murid Ibnu Khaldun pun tentu banyak selama beliau mengajar di Universitas Qasbah di Tunisia dan Universitas al-Azhar, namun ada dua nama yang namanya tersohor di seantero dunia islam. Pertama adalah Sejarawan ulung Taqiyyuddin Ahmad ibnu Ali al-Maqrizi, atau yang biasanya dikenal sebagai al-Maqrizi. Beliau adalah penulis kitab al-Suluk li Ma’rifah Duwal al-Muluk. Berikutnya adalah Ibnu Hajar al-‘Asqalani, seorang Ahli Hadis terkemuka dan juga seorang sejarawan ulung. Kitab Fathu al-Bari-nya merupakan salah satu, atau bahkan kitab syarh Sahih Bukhari terbaik sepanjang masa. Ibnu Hajar banyak mengambil pelajaran dari Ibnu Khaldun, terutama dalam bidang Sejarah.
.
*_______________________________________________________________________*
Yuk bantu jadi orang tua asuh untuk mahasiswa Indonesia yang sedang belajar untuk kebangkitan Islam dalam Program Kaderisasi Ulama di Mesir, Sudan dan negara Islam lainnya.
Info :📱0852 1861 6689 (Bpk. Rizal)
Atau bisa kunjungi kami di
Sahabatyamima.id
IG : @sahabatyamima
FanPage : Sahabat Yamima
Youtube : Sahabat Yamima Channel