Oleh : Amir Syarifuddin ( Kader Sahabat Yamima, Sudan )
Berjalannya waktu manusia itu sesuai dengan umur yang sudah ditentukan oleh Allah baginya. Dan tidaklah seorang melalui hari-harinya melainkan semakin berkurangnya jatah umur yang ia miliki, maka sampai Imam Ibnu Simak mengatakan,
“Kalaulah nafas itu mampu untuk dihitung, sedangkan ia tak terbatas dalam hitungan, lantaran sungguh tiada ganti bagi setiap nafas yang telah terhembus keluar.” (Tafsir Al Qurthubi).
Maka sungguh, Allah menghitung setiap nafas yang keluar dari kita, dan setiap kali terhembus tak akan datang lagi nafas dengan hitungan baru untuk nafas yang telah terlepas dan pergi, lantas akan terasa begitu cepat umur kita berkurang.
Sebuah perumpamaan, rumah yang di dalamnya ada uang seribu dirham, dimana setiap hari si penghuni rumah mengambil satu keping dirham yang ia miliki, dan tak ada lagi ganti untuk dirham yang telah ia ambil. Maka seiring berjalannya waktu, lambat laun hingga habislah seluruh dirham yang ia miliki sebelumnya. Terkikis habis lantaran keperluan yang ia butuhkan setiap harinya dengan dirham tersebut.
Maka dari itu, berkata Ibnu Aqil,
يستثمر العمر فيما ينفعه بينه وبين الله سبحانه وتعالى
“Umur itu akan menjadi sebuah investasi (Akhirat), bilamana ia gunakan untuk hal yang bermanfaat antara ia dengan Allah Swt.”
Kita sejatinya sebagai umat Islam tau, dimana Allah menjadikan banyak pintu-pintu amal dan kebaikan yang dapat kita raih. Akan tetapi semuanya terangkum dalam sebuah kata yaitu “Ilmu”. Oleh karenanya kita tidak akan bisa dikatakan sedang beribadah (sah) jikalau tidak didahului ilmu yang membenarkannya. Allah SWT berfirman dalam surat An Nisa ayat 43,
ياأيها الذين ءامنوا لا تقربوا الصلاةو أنتم سكٰرى حتى تعلموا ما تقولون
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati shalat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu tahu (sadar) apa yang kamu ucapkan..”
Ayat ini menunjukkan bahwasanya, seorang hamba tidaklah layak ia berbicara melainkan atas petunjuk (bantuan) Ilmu. Maka dari itu mereka (ulama) mengatakan sebagaimana Imam Tirmidzi dan yang lainnya,
العلم صلاح السر وعبادة القلب وقربة الباطن
“Ilmu adalah memperbaiki dari dalam juga ibadah hati serta kedekatan bathin.”
Dan Al Qur’an pun pertama kali turun, membahas tentang seputar ilmu, dimana Allah SWT berfirman
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِی خَلَقَ خَلَقَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٱقۡرَأۡ وَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٱلَّذِی عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَـٰنَ مَا لَمۡ یَعۡلَمۡ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha mulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Ketika Allah mengatakan “Yang mengajar (manusia) dengan pena.” menunjukan bahwasanya ilmu itu membutuhkan sebuah alat. Dan kemungkinan yang sangat logis, adalah tidak mungkin jikalau kita tidur diatas kasur hari ini, kemudian menjadi seorang yang berilmu esok hari. Maka dari itu ketika Allah berfirman dengan ayat tersebut, dengan penalah kamu mestinya mengukir dan menulis. Sejalan dengan firmanNya dalam surat Nun,
( نۤۚ وَٱلۡقَلَمِ وَمَا یَسۡطُرُونَ)
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan,”
Disitulah diibaratkan oleh Allah wa ma yasthurun, dengan pena tersebut kita menulis, dengannya kita mengukir dan mengikat suatu ilmu pengetahuan. Permisalan jika dikatakan kepadamu, “Tulislah oleh mu seratus hadits!” maka hal ini membutuhkan oleh mu kesungguhan, hal ini membutuhkan darimu pengorbanan waktu dan lelah letih hingga terselesaikannya tugas tersebut. Maka dari itulah sampai Imam Yahya ibnu Katsir dalam sahih Muslim beliau mengatakan,
لا يستطاع العلم براحة الجسم
“Sebuah ilmu mustahil untuk didapatkan dengan diri yang senantiasa beristirahat (dalam zona nyaman).”
Hal ini jika kita korelasikan, penyebutan “Ilmu” dengan apa yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi dan lainnya, “Ilmu adalah memperbaiki dari dalam juga ibadah hati serta kedekatan bathin.” Adalah sebuah perbuatan yang nampak dipandang kasat mata. Dimana kita bisa melihat dengan mata secara dzohir seorang duduk dan menulis, dimana juga mungkin kita bisa melihat seorang penuntut ilmu duduk dan belajar, dimana juga bisa kita lihat secara dzohir, seorang guru duduk di depan seraya mengajarkan ilmu. Maka disitulah terkumpulnya dua komponen antara dzohir dan batin secara bersamaan. Maka dikala dua komponen tersebut bertemu, akan kita dapati secara dzohir, si pelajar, penulis dan pengajar merasa lelah. Namun secara batin ia akan merasa senang. Inilah korelasi daripada sebuah keilmuan dan usaha. Lantaran ketika sebuah tangan menulis, ia akan terus belajar bagaimana ia mampu menulis dengan baik mengumpulkan segala data, hingga akan terus membaik seiring berjalannya waktu, lelah terasa, namun mereka para fuqoha mengatakan, “Akan kau dapatkan di dalam diri suatu ketenangan.”
Bahan Bakar Ikhlas Dalam Perjalanan Mencari Ilmu.
Kebiasaan para fuqoha ketika mendapatkan suatu ilmu, mereka akan mengikatnya terlebih dahulu dengan sebuah keikhlasan dalam dirinya. Sampai kemudian Imam Bukhori memulai kitab yang mendapatkan peringkat nomor satu akan kredibilitasnya serta teruji validasinya setelah Al Qur’an dengan hadits niat yang ikhlas, hadits Umar radhiyallahu ‘anhu.
عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب رضي الله عنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إنما الأعمال بالنية … الخ
“Dari Amirul mukminin Abi Hafsh Umar Ibnul Khathab r.a ia berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda; “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.. “ muttafaqun alaih.
Dengan hadits inilah Imam Bukhori memulai kitab Sahihnya, begitu juga dengan Imam An Nawawi yang memulai dengan hadits tersebut kitab Riyadhus shalihin, juga kitab ‘Arba’in An Nawawi. Dan masih banyak lagi beberapa Ulama yang memulai karangan-karangannya dengan hadits tersebut, mengingatkan tentang niat ikhlas tulus dalam hati.
Lantas, poin penting pada perihal ini adalah, seolah-olah seorang yang menjadi penuntut ilmu syar’i menduduki kedudukan sebagaimana para sahabat ketika hijrah kepada Rasulullah Saw. Dimana hijrah kepada beliau tidak dianggap melainkan dengan sebuah keikhlasan dalam niat di hati. Begitupun thalabul ilmi atau sering kita sebut menuntut ilmu syar’i, ia tak dianggap sebagai seorang penuntut ilmu melainkan dengan sebuah niat ikhlas dalam lubuk hatinya.
Ikhlas, ketika seorang telah mendapati keikhlasan dalam dirinya, ia akan mendapati sebuah ketenangan, relaksasi atau sebuah kenyamanan. Sebab itulah ia akan melewati berbagai kesulitan-kesulitan. Disitulah berkata Ibnul Jauzi Al Hambali,
كتبت بإصبعي هاتين ألفي مجلّدة
“Aku telah menulis dengan kedua tanganku ini, buku sebanyak dua ribu jilid.”
Disinilah mereka (Fuqoha) mengatakan, “Himmah (semangat) seorang thalib, adalah lantaran suatu keikhlasan batin tsb (dalam hatinya).” Lantas bagaimana sebuah keikhlasan mampu mendatangkan sebuah semangat daya juang yang tinggi (vitalitas dan ambisi) ?” Ambisi, mampu menggerakkan pelakunya.
Himmah & Rihlah, Berjalan Jauh Kebiasaan Nabi dan Ulama Dalam Menuntut Ilmu
Dan diantara perkara yang begitu masyhur tentang perkara thalabul ilmi adalah rihlah (berjalan jauh) guna mendapatkan ilmu yang ingin ia gapai. Dan hal ini termaktub dalam Al Qur’an surat Al Kahfi 66-69,
(قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلۡ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰۤ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمۡتَ رُشۡدࣰا قَالَ إِنَّكَ لَن تَسۡتَطِیعَ مَعِیَ صَبۡرࣰا وَكَیۡفَ تَصۡبِرُ عَلَىٰ مَا لَمۡ تُحِطۡ بِهِۦ خُبۡرࣰا قَالَ سَتَجِدُنِیۤ إِن شَاۤءَ ٱللَّهُ صَابِرࣰا وَلَاۤ أَعۡصِی لَكَ أَمۡرࣰا
“Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu (untuk menjadi) petunjuk?” Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar bersamaku. Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” Dia (Musa) berkata, “In sya Allah akan engkau dapati aku orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”
Kisah ini sangatlah masyhur, disebutkan oleh mayoritas ulama ahli tafsir, Musa ‘alaihissalam menempuh suatu perjalanan jauh serta membawa bekal demi bertemu dengan Khodir ‘alaihissalam. Said ibnu Musayyib juga mengatakan, “Aku berjalan melalui siang dan malam berhari-hari, demi mendapatkan satu hadits.” Hasan Al Bashri, beliau berkata, “Aku berjalan dari Bashrah menuju Kufah dalam mencari hadits.” Imam Khatib Al Baghdadi (1002-1071 M) menulis suatu buku berjudul, “Kitab Rihlah Fi Thalabil hadits” buku yang membahas perjalanan menuntut ilmu hadits. Didalamnya beliau mengisahkan berbagai Khobar (kisah & perkataan era salaf) berupa tema yang bersangkutan dengan jumlah yang cukup banyak. Disanalah ia mengisahkan berbagai perjalanan dengan Himmah (daya juang yang begitu tinggi) yang seakan-akan tak pernah terbetik di benak manusia.
Tahukah kita?” Seorang ulama bernama Ibnu Hibban Rahimahullah, pengarang kitab sahih, sahih Ibnu Hibban yang telah masyhur. Juga pengarang kitab Roudhotul ‘Uqala, juga kitab As tsiqat, serta kitab dhu’afa wal majruhin dan lainnya (masih banyak lagi) yang telah beliau karang. Semoga Allah memberikan manfaat dengannya untuk umat Islam.
Ibnu Hibban rahmatullah ‘alaihi, mengisahkan tentang dirinya dalam menempuh salah satu perjalanannya, disisi lain beliau telah menempuh begitu banyak perjalanan dalam mencari ilmu. Hingga masyhur dikenal sebagai orang yang paling sering menempuh perjalanan, dimana dikatakan tentangnya,
لا يكاد بلداً فيه عالم حديثٍ مسندٍ إلا ذهب إليه
“Tidaklah suatu negeri, yang terdapat didalamnya seorang ‘Alim dalam ilmu hadits dan memiliki silsilah sanad, melainkan ia telah pergi ke negeri tersebut.”
Dalam kisahnya, ia menempuh perjalanan melewati dinginnya salju, melalui lautan dan samudera, terhempas juga oleh badai pasir ketika melalui padang pasir sahara. Ia mengisahkan tentang dirinya, ketika menempuh suatu perjalanan dari negeri Bust. Bust adalah nama asal negerinya, yang terletak sekarang di negeri Afghanistan. Menempuh rihlah menuju negeri Homs, salah satu kota di Syam yang sekarang disebut sebagai negara Suriah. Dan perjalanan di masa itu tidaklah sama dengan fasilitas yang ada pada era saat ini. Pembahasannya adalah, mengapa Imam Ibnu Hibban menempuh rihlah dari negeri Bust ke kota Homs?” ia berkata,
وكل همّي شأن بقية، يعني ابن الوليد
“Kukerahkan seluruh ambisiku demi seorang bernama Baqiyyah, yaitu Ibnul Walid..”
Ibnul Walid adalah salah seorang periwayat hadits yang masyhur. Dalam perjalanannya, Ibnu Hibban sampai terhenti diatas dinginnya es salju di musim itu, demi menghukumi derajat riwayat yang ada pada diri Baqiyyah Ibnul Walid. Apakah ia termasuk perawi yang tsiqqoh (kuat jalur periwayatanya)?” atau bukan termasuk ‘tsiqqoh?” apakah ia hafidz?” apakah ia mutqin?” apakah demikian demikian dan seterusnya. Maka ia putuskan untuk menempuh perjalanan penuh hanya untuk satu ambisi saja. Riset kebenaran hadits dalam periwayatannya. Maka ketika ia sampai ke negeri tersebut, ia mendapati bahwasanya diri seorang Baqiyyah adalah mudallis (periwayat cacat). Lantas beliau pergi darinya seraya berkata,
حديث بقية ليست نقية فكن منها على تقية
“Hadits riwayat Baqiyah (bin Walid) tidak ada yang bersih (dari cacat), maka berhati-hatilah darinya (dalam meriwayatkan hadits).”
Maklumat ini adalah cukup di satu perkara, kita lihat dimana himmah yang begitu tinggi yang dimiliki oleh Imam ibnu Hibban dalam menempuh perjalanan demi perkara tersebut. Dan di sisi lain, kita dapati ada perkara yang begitu agung nan besar. Yaitu, terjaganya keutuhan dan kredibilitas hadits Nabi Saw yang hendak diserap oleh para ulama dan penuntut ilmu.
Nabi Muhammad Saw Penuntut Ilmu Pertama Diantara Umat Ini Serta Pentingnya Orang Yang Berilmu Ditengah Permasalahan Yang Ada Disekitar Kita
Sejatinya memang sungguh, manusia pertama kali dari umat ini (Islam) yang bergerak untuk ilmu setelah turunnya wahyu (Al Qur’an) adalah diri Nabi Muhammad Saw sendiri. Yaitu ketika Allah Swt menurunkan wahyu dari langit, kepada Nabi Muhammad Saw yang ketika itu berada didalam Gua Hira’ kemudian beliau keluar setelah tadinya didatangi oleh Jibril a.s, pergi menuju rumahnya seraya berkata kepada istrinya,
“Wahai Khadijah, apa yang terjadi denganku? Sungguh aku merasa khawatir atas diriku sendiri.”
Dan kemudian Khadijah menjawab, “Tidak, bergembiralah engkau. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya engkau selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang kesusahan, selalu mengupayakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu derita orang yang membela kebenaran.” (HR Bukhari)
Nabi ketika keluar dari Gua Hira’, beliau telah memiliki perangai yang telah masyhur, yaitu kebaikan akhlaknya, dimana telah dipaparkan oleh Khadijah r.a dalam hadits ini akan sifat-sifat Beliau Saw yang telah kita ketahui bersama. Dan ketika turunnya wahyu kepadanya, maka wahyu tersebut adalah ilmu, sampai Al Hafidz Ibnu ‘Abdil Barr dalam kitab Syarh Muwatho’ Imam Malik,
لا علم إلا الكتاب والسنة
“Tidak ada ilmu, melainkan Al Qur’an dan Sunnah.”
Nabi Saw bersama istrinya Khadijah r.a mengutarakan kepada anak pamannya yaitu Waraqah ibnu Naufal, seorang yang memang sejak dahulunya memiliki ilmu, mengkaji kitab Taurat juga membaca Injil. Maka bisa disimpulkan, mengapa Khadijah r.a memilih Waraqah ibnu Naufal diantara banyaknya orang yang ada kala itu?” Khadijah r.a memilihnya seorang lantaran ia adalah seorang yang berilmu. Dan seorang yang berilmu, akan selalu berada diatas konsistensi pengetahuan (kebenaran) akan perkara disekitarnya. Disitulah Imam As Syafi’i rahimahullah mengatakan,
لا تسكن بلدًا إلا فيه فقيهًا وطبيبا
“Jangan sampai engkau tinggal di suatu tempat, melainkan disana ada seorang yang faqih (berilmu) serta seorang dokter.”
Mengapa demikian?” dikarenakan seorang faqih, ia akan memberimu fatwa dalam urusan-urusan penting akan agamamu. Sedangkan seorang dokter, ia akan menunjukimu pula namun dalam perkara-perkara penting kesehatanmu. Maka Nabi Saw ketika mengisahkan apa yang telah beliau lihat di dalam gua, Waraqah spontan mengatakan,
“Allahu akbar.. Inilah Namus yang pernah diutus Allah kepada Nabi Musa. Duhai, semoga saya masih hidup ketika kamu diusir oleh kaummu.” Nabi bertanya, “Apakah mereka akan mengusir aku?” Waraqah menjawab, “Ya, betul. Belum ada seorang pun yang diberi wahyu seperti engkau yang tidak dimusuhi orang. Jika aku masih mendapati hari itu niscaya aku akan menolongmu sekuat-kuatnya.”(HR Bukhari)
Titik poin disini adalah, bahwasanya Nabi Saw mengutarakan perkara urusannya kepada seorang yang memiliki ilmu, dihari pertama ketika diturunkan kepadanya wahyu. Yaitu kepada Waraqah ibnu Naufal, anak paman Khadijah r.a. Dan Waraqah mengarahkan kepada hakikat dari apa yang telah terjadi pada Nabi Saw. Dan telah disepakati, bahwasanya inilah wahyu pertama kali turun kepada Nabi Saw. Nubuwwat kenabian yang pertama kali adalah berbicara tentang ilmu. Hal ini menunjukkan bahwa wahyu yang pertama kali turun dimulai tentang pembahasan ilmu, konteks yang berkenaan tentang ilmu.
Al Qur’an Pertama Kali Turun Berbicara Tentang Ilmu & Siapakah Seorang ‘Alim Rabbani itu?”
Kemudian dimana wahyu terputus setelah dimana Nabi menerima wahyu pertama kali untuk beberapa hari (menurut pendapat paling kuat/ sahih), dan bukan terputus dalam jangka bertahun-tahun sebagaimana dikatakan sebagian ahlul ilmi. Lantas, beberapa hari terputus, turunlah wahyu surat Al Muddatsir, berpindah urgensi wahyu tentang ilmu kepada pengamalan akan ilmu tersebut.
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ قُمۡ فَأَنذِرۡ
“Wahai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah, lalu berilah peringatan!
Maka perintah Allah kepada Nabi Saw untuk bangun, adalah perintah untuk menyeru manusia kepada Allah. Dalam surat Al Jinn disebutkan,
وَأَنَّهُۥ لَمَّا قَامَ عَبۡدُ ٱللَّهِ یَدۡعُوهُ كَادُوا۟ یَكُونُونَ عَلَیۡهِ لِبَدࣰا
“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat), mereka (jin-jin) itu berdesakan mengerumuninya.”
Serta bangun (berdiri) lantaran perintah untuk beribadah, dalam surat Al Muzammil disebutkan,
یَـٰۤأَیُّهَا ٱلۡمُزَّمِّلُ قُمِ ٱلَّیۡلَ إِلَّا قَلِیلࣰا نِّصۡفَهُۥۤ أَوِ ٱنقُصۡ مِنۡهُ قَلِیلًا أَوۡ زِدۡ عَلَیۡهِ وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِیلًا إِنَّا سَنُلۡقِی عَلَیۡكَ قَوۡلࣰا ثَقِیلًا إِنَّ نَاشِئَةَ ٱلَّیۡلِ هِیَ أَشَدُّ وَطۡـࣰٔا وَأَقۡوَمُ قِیلًا
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil”, (yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu, dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu. Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.
Perhatikan bahwasanya di awal turunnya Al Qur’an, berbicara tentang ilmu dan urusan-urusan penting dengan yang bersangkutan dengannya. Ayat yang pertama kali turun berkenaan tentang ilmu, ayat dalam fase kedua berbicara tentang kepentingan suatu ilmu tersebut, yaitu amal. Hingga setelah turun banyaknya ayat berikutnya, bahkan setelah fase hijrahnya nabi dan para sahabat, Allah berfirman,
كونوا ربانيين بما كنتم تعلمون الكتاب وبما كنتم تدرسون
“Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (Ali Imran:79)
Allah memerintahkan manusia untuk menjadi seorang dalam kategori “Rabbaniyyin”, yaitu pengabdi Allah Swt. Serta menjelaskan bagaimana tata cara menjadi seorang dalam kategori rabbaniyyin tersebut. Lantas bagaimana proses menuju seorang yang rabbani?” disebutkan dalam ayat diatas, dengan apa yang kamu ajarkan dari kitab dan karena kamu mempelajarinya!”
Qiroah dalam ayat ini hampir tak ada perbedaan diantara 7 riwayat qiraat yang ada, hanya beberapa dari riwayat membaca kalimat “Tu’allimuna” yang berarti (yang kalian ajarkan)dengan “ta’lamuuna.” (yang Kalian ketahui). Ibnul Qayyim Al Jauziyah mempunyai ungkapan dalam hal ini yang berkenaan dengan ayat diatas dalam Bait nya yang bernama qasidah Nuuniyyah,
والجهل داءٌ قاتلٌ وشفاؤه أمران فى التركيب متفقان-نصٌّ من القرآن أو من سنّةٍ وطبيب ذاك عالم ربّاني
“Kejahilan (bodoh) adalah suatu penyakit yang mematikan, sedangkan obatnya adalah dua hal yang telah disepakati dalam konstitusi (syariat) – Nash dari Al Qur’an atau Sunnah (hadits Nabi) sedangkan dokternya adalah seorang ‘alim yang rabbani.”
Disitulah poin pentingnya, tidaklah seorang manusia masuk dalam kategori rabbani melainkan dengan ilmu. Dan ilmu yang di maksud adalah tidak lain kecuali hanya dari dua sumber syariat yaitu Al Qur’an dan Sunnah. Bagaimana aplikasinya?” yaitu dengan mempelajarinya dan mengajarkannya.
Ilmu ataupun urgensi seorang ‘alim rabbani adalah sebuah pintu untuk suatu kebaikan. Dimana Allah SWT berfirman dalam QS Al bayyinah 7-8,
إِنَّ ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّـٰلِحَـٰتِ أُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمۡ خَیۡرُ ٱلۡبَرِیَّةِ جَزَاۤؤُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ جَنَّـٰتُ عَدۡنࣲ تَجۡرِی مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَـٰرُ خَـٰلِدِینَ فِی أَبَدࣰاۖ رَّضِیَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُوا۟ عَنۡهُۚ ذَ ٰلِكَ لِمَنۡ خَشِیَ رَبَّهُۥ
Sungguh, orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Disini dikatakan sebaik-baiknya makhluk, kemudian Allah di akhir ayat menyebutkan orang yang takut kepada-Nya. Disini ada sebuah korelasi tersendiri, dimana dua ayat tersebut menunjukan, siapa itu orang dengan julukan Khairul Bariyyah?” atau sebaik-baiknya makhluk?” mereka itu adalah orang-orang yang takut kepada Allah (khasyah). Dimana Allah juga berfirman dalam QS Fathir 28,
إنما يخشى الله من عباده العلماؤ
Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.
Kalau kita tahu dan faham betul akan korelasi dua ayat akhir dari surat Al Bayyinah diatas dengan ayat yang termaktub dalam surat Fathir, kita akan tahu, bahwasanya alim atau ulama adalah sebaik-baik manusia. Inilah yang disabdakan Nabi Muhammad Saw, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al Qur’an dan mengajarkannya.” belajar Al Qur’an adalah untuk dirinya sendiri, sedangkan pengajaran, adalah kemanfaatan untuk orang lain. Dan disebutkan bersamaan dengan sifat khasyah itu sendiri, adalah rasa takut kepada Allah SWT. Maka dari itu Ibnu Maaruq berkata,
كفى بالمرء علماً أن يخش الله
Cukuplah Seorang itu dikatakan sebagai ‘alim bilamana ia takut kepada Allah.
Begitu pula Imam As Sya’bi ketika ditanyakan kepada beliau, “Wahai Sya’bi! Katakan kepadaku tentang seorang ‘alim?” maka beliau menjawab, “Al ‘Alim yaitu orang yang takut kepada Allah SWT.” Begitu juga dikatakan oleh Sufyan bin’Uyainah, “Orang ‘alim adalah orang yang memiliki rasa takut kepada Allah.”
Lantas bagaimana tahap mendapatkan ilmu itu sendiri hingga berkelanjutan ?”
In sya Allah lanjut part selanjutnya..
*_______________________________________________________________________*
Yuk bantu jadi orang tua asuh untuk mahasiswa Indonesia yang sedang belajar untuk kebangkitan Islam dalam Program Kaderisasi Ulama di Mesir, Sudan dan negara Islam lainnya.
Info : 0852 1861 6689 (Bpk. Rizal)
Atau bisa kunjungi kami di
Sahabatyamima.id
IG : @sahabatyamima
FanPage : Sahabat Yamima
Youtube : Sahabat Yamima Channel